Labels

PDRI, Penyambung Nyawa RI



Pemerintahan Darurat Republik Indonesia



Perjuangan Bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan begitu panjang dan berliku. Kemerdekaan diperjuangkan melalui Revolusi dan api peperangan dan peperangan dan perundingan demi perundingan turut mematangkan jiwa bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Meski kemerdekaan diperjuangkan dengan cara Revolusi, ternyata kemerdekaan indonesia justru di ungkapkan dengan untaian kalimat singkat dan sederhana.

Tahun-tahun pertama Republik Indonesia seolah ditakdirkan untuk mengalami ujian besar, demi kelangsungan hidupnya ibukota republik Indonesia berpindah ke Yogjakarta. Zaman Jogja adalah zaman hidup mati bagi republik, karena ia harus bertahan mengahadapi tantangan musuh-musuh dari dalam maupun dari luar.

Dua perundingan besar dan dua peperangan besar tercatat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville dua-duanya dikhianati oleh Belanda, Perjanjian Linggarjati dirobek-robek belanda melalui Agresi Militer pertama pada bulan juli 1947, sedangkan perjanjian Renville hanya menimbulkan pecahnya Agresi Militer belanda kedua pada 19 Desember 1948.

Belum pernah dalam perjuangan republik yang baru lahir, ibu kota negara diduduki, para pemimpin ditawan dan kekuatan revolusi terpecah. Sejarah mencatat, mirip dengan teks proklamasi yang ditulis pada sebuah kertas sederhana, jalan untuk memepertahankan kemerdekaan ternyata harus ditulis lewat secarik kertas surat telegram yang ditulis oleh presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta.

Surat kawat itu dikirim oleh presiden Soekarno berupa perintah kepada mentri Kemakmuran pada saat itu Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera tengah ( tepatnya Sumatera Barat sekarang ) untuk membentuk Pemerintahan Darurat, Moh. Hatta melengkapinya buat Mr. Maramis dan Soedarsono agar menyusun pemerintahan dipengasingan jika Syafruddin Prawiranegara gagal membentuk Pemerintahan darurat.

Mentri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara bersama sejumlah pemimpin Sumatera Tengah segera mengambil tindakan untuk merespon serbuan militer belanda ke jogja dan keberbagai wilayah republik indonesia.

Menurut Thamrin mana, Mantan Tentara Pelajar yang aktif mempelajari dokumen-dokumen sejarah perjuangan sumatera tengah masa revolusi, surat kawat yang dikirimkan oleh Soekarno-Hatta itu tidak pernah sampai ketangan Mr. Syafruddin Prawiranegara karena pada saat itu sudah terjadi kekacauan, belanda sudah mulai meyerang dan salah satu kantor telegraf itu sudah hancur terlebih dahulu dihantam oleh belanda.

Pagi 19 Desember  pula Syafruddin Prawiranegara dan anggota lainnya mengadakan pertemuan dengan Tengku Moh. Hasan sebagai Konfensus Sumatera pada saat itu dan didampingi oleh Kolonel Hidayat dan Islam salim anak dari agus salim. Dan akhirnya dalam perundingan tersebut secara tergesa-gesa dan diambil keputusan untuk menyusun Kabinet PDRI, dengan ketua Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Wakil Ketua Tengku.Moh. Hasan. Memang pertama pembicaraan akan membentuk Kabinet itu di Bukittinggi namun Penyelesaiannya terjadi di Halaban, Payakumbuh.


Syafruddin Prawiranegara yang memimpin PDRI harus pergi keluar kota Bukittinggi  dan berpencar dengan anggota lainnya karena belanda mengebom kota-kota di Sumatera tengah dan sejak itu terjadilah riwayat PDRI yang pindah dari suatu tempat ke tempat lain. PDRI sebagai Mobile Government atau pemerintahan yang selalu berpindah pindah sangat tepat jika melihat situasi alam Sumatera Tengah ditengah gempuran militer belanda yang menggunakan peralatan tempur  canggih.

Ditengah situasi gawat akibat ancaman serangan militer belanda setiap saat, PDRI dengan dukungan rakyat sumatera tengah ternyata justru berkembang, meski selalu berpindah PDRI mampu menghadirkan eksistensinya ditengah masyarakat dalam dan luar negeri.

Pemerintahan yang terus berpindah-pindah ini untuk beberapa bulan mendapatkan masa menetap di Bidar Alam, menandai dimana PDRI berkesempatan mengumandangkan suara perjuangannya hingga ke dunia internasional. Menurut Mestika Zed, Penulis buku sejarah PDRI,  dipilihnya Bidar Alam sebagai basis PDRI karena Bidar Alam adalah daerah yang relatif  jauh  dari kemungkinan jangkauan belanda dan relatif aman, dan disitulah Syafruddin Prawiranegara beserta rombongan dan perangkat pemerintahannya dan termasuk alat komunikasi radio untuk dunia luar tetap dibawa dengan cara digendong sekitar enam orang dari tempat ke tempat lain dengan menempuh jalan kaki.

Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Sjafruddin membalas, Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.
Monumen PDRI di Bidar Alam

Salah satu faktor penting pendukung eksistensi PDRI disumatera tengah ialah BPNK ( Badan Pertahan Nagari dan Kota ) sebagai basis pertahanan di pelosok Minangkabau. Para pemimpin militer PDRI sangat menyadari bahwa pertahanan berbasis rakyat di Nagari-nagari dan didukung kondisi alam sumatera tengah yang bergunung merupakan keunggulan lain dari sistem pertahanan PDRI menghadapi keunggulan militer belanda. Pemikiran itu pula yang melatar belakangi pembentukan BPNK ( Badan Pertahan Nagari dan Kota ) sebuah badan untuk menggalang kekuatan semi militer dikalangan rakyat yang dibentuk untuk mengamankan PDRI.

Bertumpu pada kekuatan politik dan militer yang didukung rakyat, PDRI perlahan mampu menyatukan berbagai kekuatan revolusi yang terpecah sejak agresi militer belanda kedua, pencapaian besar ini yang pada separuh akhir dari sekitar delapan bulan rentang hidup PDRI ternyata nantinya akan memasuki fase baru ditandai pertentangan antara pemimpin PDRI dengan pemimpin republik yang ditawan Belanda di Bangka.

Belanda dengan menggunakan jurus lama mencoba mempertentangkan mereka. Peristiwa-peristiwa dalam revolusi seringkali tidak bisa dipahami secar hitam putih, demikian pula yang terjadi dalam fase akhir kehidupan PDRI.  Arah sejarah seolah berada dititik persimpangan bagi PDRI, setelah belanda memilih para pemimpin republik yang ditawan dibangka dan bukan para pemimpin PDRI untuk berunding, menjadi mitra untuk pembicaraan mengakhiri sengketa kedaulatan antara indonesia dengan belanda.

Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Perjanjian  Room Royen yang berhasil merumuskan tahap-tahap menuju pengakuan kedaulatan indonesia justru merupakan titik awal bagi berakhirnya keberadaan PDRI.

Setelah Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Syafruddin Prawiranegara untuk datang ke Jogja, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.

 Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.

Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.

Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, Moh. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.

Jalan Syafruddin Prawiranegara dan pemimpin PDRI untuk datang ke Jogja terasa begitu berat, namun itulah jalan satu-satunya menuju persatuan para pemimpin Indonesia yang tengah bersiap menghadapi salah satu perundingan paling menentukan kedaulatan indonesia yaitu KMB.

Berakhirlah perjuangan Syafruddin Prawiranegara dan pejuang-pejuang disumatera tengah dalam menyelamatkan republik yang baru lahir pada saat itu. Bung Karno, bung Hatta, bung Syahrir dan H.Agus Salim dan para pemimpin republik lainnya yang ditawan dibangka adalah para pemimpin yang sangat dicintai dan mencintai rakyat. Tetapi siapa pernah meragukan bahwa Syafruddin Prawiranegara, Tengku.Moh. Hasaan, Sutan Moh Rasyid, panglima besar Jendral Soedirman dan Para pemimpin PDRI lainnya adalah para pemimpin yang juga sangat dicintai dan mencintai rakyatnya. Dan satu hal yang jelas adanya bahwa PDRI adalah mata rantai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 agustus 1945 





Sumber :






Mestika Zed, Somewhere in the Jungle Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan


PANCASILA "Jangan diperdebatkan lagi"

                                                                                      



                                 

Mereka masih memperdebatkan Pancasila

 

 Anak Indonesia mana yang tidak tahu Pancasila, sejak SD kita sudah diwajibkan menghafal lima sila yang terkandung dalam pancasila, baahkan selama dua belas tahun kita belajar dari SD sampai SMA setiap hari senin upacara bendera dan membaca teks pancasila. Ini adalah salah satu cara pemerintah untuk mendokrin anak bangsa supaya mencintai Pancasila.

 Pancasila adalah Ideologi dasar bagi bangsa indonesia, pancasila yang mempersatukan bangsa indonesia yang majemuk. pancasila lahir dengan sejarah yang panjang dan penuh perdebatan, para pendiri bangsa menggali nilai nilai yang terkandung dalam pancasila  dari bumi indonesia sendiri, kita semua  sudah tahu sejarah lahirnya pancasila, jadi dalam artikel ini penulis tidak akan membahas tentang sejarah lahirnya pancasila tapi mencoba membahas tentang perdebatan yang masih terjadi ditengah masyarakat kita tentang pancasila.

Pada zaman reformasi ini pancasila masih diperdebatkan dikalangan masyarakat,akademisi bahkan para elite politik terutama pancasila dengan agama islam dan ideologi lainnya, dan semakin hangat dengan keluarnya undang undang ormas yang membuat pancasila sebagai azaz tunggal diluar itu semakin maraknya kelompok yang mempertentangkan pancasila dengan islam.

Pada satu kesempatan penulis pernah hadir dalam acara dialog merah putih yang diadakan disalah satu universitas negeri di daerah penulis dengan tema "Revitalisasi nilai nilai pancasila sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara", dalam dialog tersebut terjadi perdebatan sengit ketika salah satu dari narasumber menyatakan pancasila tidak lagi relevan untuk masa sekarang dan menawarkan revolusi dengan syariat islam dan sistem khilafahnya. 
Jika melihat pancasila dan agama kita tidak bisa membandingkan kedua tersebut karena pancasila itu bukan sebuah agama atau kepercayaan seperti yang pernah dikatakan soekarno "Pancasila bukanlah agama baru dan janganlah meletakkan pancasila ini secara antagonistik  terhadap agama islam dan jangan pula pancasila ini diletakkan pada kontingensi agama budha, sebab pancasila adalah falsafah bagi negara republik indonesia, sebab pancasila adalah suatu dasar bagi negara republik indonesia ini".

Lihatlah bangsa kita ini bangsa dengan ragam suku, agama, dan ras semuanya hidup secara berdampingan, untuk menciptakan keharmonisan antar suku agama dan ras tersebut diperlukan suatu pengikat, pengikat itu tidak lain ialah pancasila. Pancasila sebagai alat pemersatu karena berisi cita-cita dan gambaran tentang nilai-nilai ideal yang akan diwujudkan bangsa ini. Pancasila melandasi semua kehidupan kenegaraan, berbangsa, dan bermasyarakat, oleh karena itu fungsi dan kedudukannya adalah sebagai alat pemersatu bangsa, untuk menyatukan semua perbedaan yang ada di Indonesia.

Mereka yang masih memperdebatkan pancasila, mengatakan pancasila saat ini tidak relevan lagi untuk digunakan sebagai ideologi dan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka lebih suka membandingkan pancasila dengan ideologi lain semisalnya sosialis, kapitalis, dan menyebut pancasila dengan ideologi banci. tetapi sayangnya jangankan melaksanakannya, mereka bahkan tidak paham apa yang mereka bicarakan, mereka hanyalah orang orang yang hanya bisa mencemooh apa milik mereka sendiri, mereka itulah banci sebenarnya.

kita lebih sering menyibukkan diri dengan menyalahkan sistem, namun sebenarnya diri kitalah yang salah karena gagal menjalankannya, bukan sistem yang gagal meraih tujuan tetapi kita lah yang gagal menjalankan sistem.

Dengan Pancasila, bangsa yang majemuk ini bisa menjamin setiap warga negara untuk menjalankan kewajiban beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing, sebab bangsa indonesia adalah bangsa yang agamais bukan sekuler.
pancasila mengedepankan asas musyawarah mufakat untuk mencari kepentingan bersama

prof. M. Yamin mengatakan : " Alangkah banyak macam agama disini, alangkah banyak macam aliran pikiran disini, alangkah banyak macam golongan disini, alangkah banyak macam suku disini, tapi mana memepersatukan aliran-aliran, suku-suku, agama-agama, dan lain-lain sebagainya itu jikalau tidak diberi satu dasar yang mereka bersama-sama bisa berpijak diatasnya, dan itulah Pancasila."

ideologi pancasila yang dianut indoensia, tidak bisa ditawar tawar lagi terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
soekarno pernah mengatakan : "Sulit sekali mempersatukan rakyat indonesia itu jikalau tidak didasarkan atas Pancasila."
dan soekarno juga mengatakan : "Doaku kepada Allah swt, janganlah pancasila ini diperdebat-debatkan lagi, sebab pancasila ini telah memberi bukti kepada kita atas memepersatukan bangsa indonesia sehingga bangsa indonesia bisa merebut kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945."

 

Etika Pemerintahan

Etika Pemerintahan adalah Sistem nilai pedoman, sikap dan perilaku aparat pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Objek dari Etika Pemerintahan sendiri ialah Sikap dan perilaku aparat pemerintahan.

Kegunaan Etika Pemerintahan sebagai orientasi aparat pemerintahan dalam menjalankan jabatannya atau menjalankan tugas dan fungsinya dalam mencapai tujuan negara.

Inti dari Etika Pemerintahan itu sendiri ialah Bagaimana cara menggunakan kekuasaan, "The Use of Power"
dalam menjalankan kekuasaan tersebut ada nilai-nilai normatif yaitu :
Nilai sopan santun
Nilai hukum
Nilai moral.

Jadi aparat pemerintahan harus menggunakan kekuasaannya dengan etika yang baik dan menjalankan kekuasaannya dengan nilai nilai normatif tersebut untuk mencapai tujuan pemerintahan.

Mekanisme Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945

Impeachment ( Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya ) di Indonesia


               Impeachment atau yang sering disebut dengan Pemakzulan adalah Pemberhentian Presiden/wakil presiden dalam masa jabatnnya.
erHal ini bisa dilakukan apabila Presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum, bupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. 
                     
 Ada dua tahapan Pemakzulan :
1. Proses Hukum ( Rechstaat ) berdasarkan Pasal 1  ayat (3) UUD 1945
2. Proses Politik ( Kedaulatan Rakyat ) berdasarkan Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

                      Impeachment ini sendiri telah diatur dalam UUD 1945.
Pasal 7A UUD 1945 :
Presiden dan/atau Wakil Presiden  dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak terbukti lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden .

Mekanisme Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***) 

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***) 

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***) 

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***) 

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***) 

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***) 

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)


Semua sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar kita, oleh karena itu sepatutnya kita semua memahami tentang kandungan dari Undang-Undang Dasar kita dan sebagai konstitusionalis kita harus melaksanakan Undang-Undang Dasar itu

 
   

Mengenal Tan Malaka


Siapa Tan Malaka ?

Tan Malaka adalah Tokoh yang cukup kontroversial baik dikalangan akedemisi, pergerakan,maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa Negara yang pernah dikunjunginya.  
Ibrahim gelar datuk Tan malaka atau yang lebih dikenal dengan Tan Malaka adalah salah seorang Putra Minangkabau yang sangat berpengaruh dalam pergerakan di indonesia. Menurut Harry A. Poeze yang bertahun-tahun menghabiskan waktu untuk meneliti sosok dari Tan Malaka. Tan Malaka lahir tahun 1894, disebuah Nagari kecil Pandan Gadang, Suliki, daerah pedalaman Minangkabau, Sumatera Barat. Ia juga merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang melanjutkan studinya ke Belanda.
 
Rumah Tan Malaka di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat
Orang tua dari tan Malaka tergolong kaum Bangsawan lokal, tapi dalam hal kepemilikan dan kedudukan tidak banyak beda dari penduduk sesamanya. Sejalan dengan Garis Matrilineal diminangkabau, ia diwariskan Gelar Adat yang terhormat Datuk Tan Malaka, jadilah namanya Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Chaniago dan Sinah Sinabur ini Sebagian besar hidupnya dihabiskan diluar negeri. Setelah tamat dari Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun, pada Tahun 1913 Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda sebagai Siswa disekolah guru Rijkskweekschool, Haarlem, Belanda. Semasa inilah pemahaman mengenai politiknya mulai berkembang, Tan Malaka tidak bisa menghindar dari situasi politik dimasa itu, ia mulai membaca buku karangan Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Vladimir Lenin. Tan Malaka bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia)
Tan Malaka Muda


Setelah enam tahun dibekali pengetahuan politik di Belanda, Pada November 1919  Tan Malaka memutuskan untuk pulang ke Indonesia dengan cita-cita mengubah nasib bangsa Indonesia. Tahun 1921 merupakan awal kiprah Tan Malaka didunia politik, ia bergabung dengan SI ( Serikat Islam ) disemarang bersama Semaun, keduanya sepakat untuk mendirikan sekolah rakyat. Pada masa itu Serikat Islam sedang mengalami perseturuan antara fraksi islam dan komunis, hingga akhirnya partai tersebut terpecah dan Tan Malaka ikut dengan Darsono. Beberapa bulan kemudian Tan keluar dari partai akibat paham yang tidak sejalan.
Pada 2 Maret 1922, Tan Malaka ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda atas tuduhan sebagai dalang pemogokan buruh pelabuhan. Hal tersebut memaksa Tan untuk kembali ke Belanda namun bukan sebagai pelajar melainkan sebagai orang buangan. Oleh kawan-kawannya separtai Tan disambut sebagai martir dari Kolonialisme Belanda, Tan segera diletakkan pada tempat ketiga dalam daftar kaum komunis untuk pemilu anggota tweede Kamer (Parelemen) bulan juli 1922 sebagai calon Indoensia yang pertama. Namun Tan tidak terpilih karena partainya hanya mendapat dua kursi. Disurat kabar Komunis dan brosur berbahasa indonesia Tan Malaka menulis panjang lebar tentang Pengasingannya.
Perjalanan Tan Malaka

Dari Belanda Tan melakukan perjalanan ke Moskow, disana Tan Malaka Tampil sebagai wakil Indonesia  pada kongres Komintern bulan November 1922. Dalam kongres ini Tan Malaka menyampaikan pidato yang sia-sia karena mengajukan masalah kerja sama antara komunisme dengan panislamisme, dan pendapatnya itu tidak diakui sebagai berpotensi revolusioner. Komintern memberikan tugas baru kepada Tan Malaka dalam tahun 1923 yaitu, sebagai wakil komintern untuk Asia Tenggara dengan kewenangan yang luas sepanjang tentang urusan partai, kelompok, dan Tokoh-tokoh dikawasan itu. Sebagai basis Tan memilih Kanton,Cina.
Dari jarak jauh, Tan Malaka juga ikut campur dalam urusan perkembangan PKI di Indonesia. Tahun 1925 di kanton, Cina, Tan Malaka menulis buku yang memuat konsep republik yang berjudul Naar de 'Republiek Indonesia' ( Menuju Republik Indonesia ), karena buku itulah Tan Malaka mendapat gelar Bapak Republik Indonesia. Tan Malaka lah orang pertama yang menulis konsep republik untuk Indonesia jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928),dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Awal tahun 1926, disalah satu daerah di Singapura Tan Malaka menulis buku yang berjudul “Massa Actie”. Buku Naar de Republiek dan Massa Actie yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya."
            Pada tahun 1942 Tan Malaka kembali ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangannya. Diseputar Proklamasi Tan menorehkan perannya yang penting. Menurut Harry A. Poeze, Tan Malaka lah orang dibalik peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta, yang terjadi pada tanggal 19 September 1945. Diantara ratusan ribu massa yang mendatangi lapangan tersebut tampak sesosok pria memakai topi perkebunan berjalan berdampingan dengan Presiden Soekarno, sosok tersebut diyakini Harry A. Poeze berdasarkan ciri-ciri yang telah ia teliti selama bertahun-tahun. Harry A. Poeze mengatakan “Tan memakai topi perkebunan sejak di Filipina (1925-1927), membawa dua setel pakaian dan memiliki tinggi 165 cm.
 
Tan Malaka berdampingan dengan Soekarno dilapangan Ikada
            Pada 9 September 1945 Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mencari Tan Malaka, pertemuan antara Soekarno dan Tan Malaka pun diatur dan dirahasiakan. Dalam pertemuan itu Soekarno mengatakan "Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan." Sebelum menutup pertemuan, Soekarno memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti melik itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi, Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. "Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan," katanya.

            Niat mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam. Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut
kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta
juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.

            Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah-belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia-Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan.
           
            Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. "Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak," kata Hadidjojo. Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan 141 organisasi (Masyumi, PNI, Parindra, PSI, PKI, Front Rakyat, PSII, tentara, dan unsur laskar) di Purwokerto, 4-5 Januari 1946. Sudirman hadir sebagai unsur tentara. untuk mengambilalih kekuasaan dari tentara sekutu.. Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir. Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
Tan Malaka berpidato pada kongres Persatuan perjuangan


            Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal, akhirnya Soekarno sendiri yang membakar tastemen tersebut. Setelah dua tahun Tan ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.

            Setelah Tan dibebaskan, Tan mendirikan partai Murba bersama Sukarni pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Partai ini menjadi Partai terakhirnya. Tan juga bertemu dengan  Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal. Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi Tan memutuskan pergi ke Kediri.

            Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati oleh pasukan TNI pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Setelah terjadi pembunuhan terhadap Tan Malaka, Hatta memberhentikan Sungkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Surachmat sebagai Komandan Brigade karena kesembronoan mengatasi kelompok Tan Malaka,dan berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.


Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka#Bibliografi
Tan Malaka Bapak republik yang dilupakan by By Tempo
  Poeze, Harry A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia 1. translated by Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-697-0.