Siapa Tan Malaka ?
Tan
Malaka adalah Tokoh yang cukup kontroversial baik dikalangan akedemisi,
pergerakan,maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa Negara yang
pernah dikunjunginya.
Ibrahim
gelar datuk Tan malaka atau yang lebih dikenal dengan Tan Malaka adalah salah
seorang Putra Minangkabau yang sangat berpengaruh dalam pergerakan di
indonesia. Menurut Harry A. Poeze yang bertahun-tahun menghabiskan waktu untuk
meneliti sosok dari Tan Malaka. Tan Malaka lahir tahun 1894, disebuah Nagari
kecil Pandan Gadang, Suliki, daerah pedalaman Minangkabau, Sumatera Barat. Ia
juga merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang melanjutkan studinya ke
Belanda.
Orang tua dari tan Malaka tergolong kaum
Bangsawan lokal, tapi dalam hal kepemilikan dan kedudukan tidak banyak beda
dari penduduk sesamanya. Sejalan dengan Garis Matrilineal diminangkabau, ia
diwariskan Gelar Adat yang terhormat Datuk Tan Malaka, jadilah namanya Ibrahim
gelar Datuk Tan Malaka. Anak dari pasangan Rasad Chaniago dan Sinah Sinabur ini
Sebagian besar hidupnya dihabiskan diluar negeri. Setelah tamat dari Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun,
pada Tahun 1913 Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda sebagai Siswa
disekolah guru Rijkskweekschool, Haarlem, Belanda. Semasa inilah
pemahaman mengenai politiknya mulai berkembang, Tan Malaka tidak bisa
menghindar dari situasi politik dimasa itu, ia mulai membaca buku karangan Karl Marx,
Friedrich Nietzsche, Vladimir
Lenin. Tan Malaka bertemu Henk
Sneevliet, salah satu pendiri Indische
Sociaal dari-Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia)
Tan Malaka Muda |
Setelah enam tahun dibekali pengetahuan
politik di Belanda, Pada November 1919 Tan Malaka memutuskan untuk pulang ke
Indonesia dengan cita-cita mengubah nasib bangsa Indonesia. Tahun 1921
merupakan awal kiprah Tan Malaka didunia politik, ia bergabung dengan SI (
Serikat Islam ) disemarang bersama Semaun, keduanya sepakat untuk mendirikan
sekolah rakyat. Pada masa itu Serikat Islam sedang mengalami perseturuan antara
fraksi islam dan komunis, hingga akhirnya partai tersebut terpecah dan Tan
Malaka ikut dengan Darsono. Beberapa bulan kemudian Tan keluar dari partai
akibat paham yang tidak sejalan.
Pada 2 Maret 1922, Tan Malaka ditangkap
oleh pemerintah kolonial Belanda atas tuduhan sebagai dalang pemogokan buruh
pelabuhan. Hal tersebut memaksa Tan untuk kembali ke Belanda namun bukan
sebagai pelajar melainkan sebagai orang buangan. Oleh kawan-kawannya separtai
Tan disambut sebagai martir dari Kolonialisme Belanda, Tan segera diletakkan
pada tempat ketiga dalam daftar kaum komunis untuk pemilu anggota tweede Kamer
(Parelemen) bulan juli 1922 sebagai calon Indoensia yang pertama. Namun Tan
tidak terpilih karena partainya hanya mendapat dua kursi. Disurat kabar Komunis
dan brosur berbahasa indonesia Tan Malaka menulis panjang lebar tentang
Pengasingannya.
Perjalanan Tan Malaka |
Dari Belanda Tan melakukan perjalanan ke
Moskow, disana Tan Malaka Tampil sebagai wakil Indonesia pada kongres Komintern bulan November 1922. Dalam
kongres ini Tan Malaka menyampaikan pidato yang sia-sia karena mengajukan
masalah kerja sama antara komunisme dengan panislamisme, dan pendapatnya itu
tidak diakui sebagai berpotensi revolusioner. Komintern memberikan tugas baru kepada
Tan Malaka dalam tahun 1923 yaitu, sebagai wakil komintern untuk Asia Tenggara
dengan kewenangan yang luas sepanjang tentang urusan partai, kelompok, dan
Tokoh-tokoh dikawasan itu. Sebagai basis Tan memilih Kanton,Cina.
Dari jarak
jauh, Tan Malaka juga ikut campur dalam urusan perkembangan PKI di Indonesia. Tahun
1925 di kanton, Cina, Tan Malaka menulis buku yang memuat konsep republik yang berjudul
Naar de
'Republiek Indonesia' ( Menuju Republik
Indonesia ), karena buku itulah Tan Malaka mendapat gelar Bapak Republik
Indonesia. Tan Malaka lah orang pertama yang menulis konsep republik untuk
Indonesia jauh lebih dulu dibanding
Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia
Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai
pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928),dan Bung Karno, yang
menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Awal tahun 1926, disalah satu daerah di Singapura
Tan Malaka menulis buku yang berjudul “Massa
Actie”. Buku Naar de
Republiek dan Massa Actie yang ditulis dari tanah pelarian itu telah
menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti
Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan
mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub
Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di
Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh
jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia
Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat "Indonesia tanah
tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir
dari Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal Seorang
Revolusioner". Di situ Tan
antara lain menulis, "Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri....
Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya."
Pada tahun 1942 Tan Malaka kembali ke
Indonesia untuk melanjutkan perjuangannya. Diseputar Proklamasi Tan menorehkan
perannya yang penting. Menurut Harry A. Poeze, Tan Malaka lah orang dibalik
peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta, yang terjadi pada tanggal
19 September 1945. Diantara ratusan ribu massa yang mendatangi lapangan
tersebut tampak sesosok pria memakai topi perkebunan berjalan berdampingan
dengan Presiden Soekarno, sosok tersebut diyakini Harry A. Poeze berdasarkan
ciri-ciri yang telah ia teliti selama bertahun-tahun. Harry A. Poeze mengatakan
“Tan memakai topi perkebunan sejak di Filipina (1925-1927), membawa dua setel
pakaian dan memiliki tinggi 165 cm.
Pada 9 September 1945 Soekarno meminta Sayuti Melik untuk
mencari Tan Malaka, pertemuan antara Soekarno dan Tan Malaka pun diatur dan
dirahasiakan. Dalam pertemuan itu Soekarno mengatakan "Jika
nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi,
saya harap Saudara yang melanjutkan."
Sebelum menutup pertemuan, Soekarno
memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti melik
itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di
harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi, Mereka bicara
lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan
menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Tan tidak
bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara
ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan.
"Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik
yang sudah sekian lama saya idamkan," katanya.
Niat mengeluarkan
testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September
1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah
seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Hatta
menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan
diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling
kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan
dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam. Soekarno puas dengan
jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama
Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta
memaparkan pendapatnya.
Ia
mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut
kontroversi
karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta
juga
mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan
diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta
disetujui.
Dalam pertemuan 1
Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa
sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan
menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo
dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo
ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks
itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi
kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat
batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional,
Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.
Pada saat di
Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah-belakangan
menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia-Tan kemudian dikawal Des
Alwi selama sepekan.
Dari Sidoarjo, Tan
berkeliling Jawa ditemani Djohan. "Saat itu hubungan Tan dengan kubu
Sjahrir belum retak," kata Hadidjojo. Tapi pertalian itu cuma sebentar.
Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir.
Lewat Persatuan Perjuangan 141 organisasi
(Masyumi, PNI, Parindra, PSI, PKI, Front Rakyat, PSII, tentara, dan unsur
laskar) di Purwokerto, 4-5 Januari 1946. Sudirman hadir sebagai unsur tentara. untuk
mengambilalih kekuasaan dari tentara sekutu.. Tan
menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat
Soekarno-Hatta-Sjahrir. Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung
penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap
di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di
radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka
ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
Tan Malaka berpidato pada kongres Persatuan perjuangan |
Sewaktu Tan di
dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa
Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta
menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat
mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal, akhirnya Soekarno sendiri
yang membakar tastemen tersebut. Setelah dua tahun Tan ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan.
Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan
dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.
Setelah Tan
dibebaskan, Tan mendirikan partai Murba bersama Sukarni pada 7 November 1948 di
Yogyakarta. Partai ini menjadi Partai terakhirnya. Tan juga bertemu dengan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak
Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948.
Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal. Surat dari
Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh
Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi Tan
memutuskan pergi ke Kediri.
Pada
tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati
tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela
Proklamasi di Pethok,
Kediri,
Jawa Timur.
Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, yang
menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati oleh pasukan TNI pada tanggal 21
Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi
Brawijaya di di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan
Semen, Kabupaten Kediri.
Setelah terjadi pembunuhan terhadap Tan Malaka,
Hatta memberhentikan Sungkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Surachmat
sebagai Komandan Brigade karena kesembronoan mengatasi kelompok Tan Malaka,dan berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53,
yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan
kemerdekaan Nasional.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka#BibliografiTan Malaka Bapak republik yang dilupakan by By Tempo
Poeze, Harry A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia 1. translated by Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-697-0.