Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia
Perjuangan Bangsa Indonesia untuk
mendapatkan kemerdekaan begitu panjang dan berliku. Kemerdekaan diperjuangkan
melalui Revolusi dan api peperangan dan peperangan dan perundingan demi
perundingan turut mematangkan jiwa bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Meski kemerdekaan diperjuangkan dengan cara Revolusi, ternyata kemerdekaan indonesia
justru di ungkapkan dengan untaian kalimat singkat dan sederhana.
Tahun-tahun pertama Republik Indonesia
seolah ditakdirkan untuk mengalami ujian besar, demi kelangsungan hidupnya
ibukota republik Indonesia berpindah ke Yogjakarta. Zaman Jogja adalah zaman
hidup mati bagi republik, karena ia harus bertahan mengahadapi tantangan
musuh-musuh dari dalam maupun dari luar.
Dua
perundingan besar dan dua peperangan besar tercatat dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia. Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville dua-duanya dikhianati
oleh Belanda, Perjanjian Linggarjati dirobek-robek belanda melalui Agresi
Militer pertama pada bulan juli 1947, sedangkan perjanjian Renville hanya
menimbulkan pecahnya Agresi Militer belanda kedua pada 19 Desember 1948.
Belum
pernah dalam perjuangan republik yang baru lahir, ibu kota negara diduduki,
para pemimpin ditawan dan kekuatan revolusi terpecah. Sejarah mencatat, mirip
dengan teks proklamasi yang ditulis pada sebuah kertas sederhana, jalan untuk
memepertahankan kemerdekaan ternyata harus ditulis lewat secarik kertas surat
telegram yang ditulis oleh presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta.
Surat
kawat itu dikirim oleh presiden Soekarno berupa perintah kepada mentri
Kemakmuran pada saat itu Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera
tengah ( tepatnya Sumatera Barat sekarang ) untuk membentuk Pemerintahan
Darurat, Moh. Hatta melengkapinya buat Mr. Maramis dan Soedarsono agar menyusun
pemerintahan dipengasingan jika Syafruddin Prawiranegara gagal membentuk Pemerintahan
darurat.
Mentri
Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara bersama sejumlah pemimpin Sumatera Tengah
segera mengambil tindakan untuk merespon serbuan militer belanda ke jogja dan
keberbagai wilayah republik indonesia.
Menurut
Thamrin mana, Mantan Tentara Pelajar yang aktif mempelajari dokumen-dokumen
sejarah perjuangan sumatera tengah masa revolusi, surat kawat yang dikirimkan
oleh Soekarno-Hatta itu tidak pernah sampai ketangan Mr. Syafruddin
Prawiranegara karena pada saat itu sudah terjadi kekacauan, belanda sudah mulai
meyerang dan salah satu kantor telegraf itu sudah hancur terlebih dahulu
dihantam oleh belanda.
Pagi
19 Desember pula Syafruddin Prawiranegara dan anggota lainnya mengadakan
pertemuan dengan Tengku Moh. Hasan sebagai Konfensus Sumatera pada saat itu dan
didampingi oleh Kolonel Hidayat dan Islam salim anak dari agus salim. Dan
akhirnya dalam perundingan tersebut secara tergesa-gesa dan diambil keputusan
untuk menyusun Kabinet PDRI, dengan ketua Mr. Syafruddin Prawiranegara dan
Wakil Ketua Tengku.Moh. Hasan. Memang pertama pembicaraan akan membentuk
Kabinet itu di Bukittinggi namun Penyelesaiannya terjadi di Halaban,
Payakumbuh.
Syafruddin
Prawiranegara yang memimpin PDRI harus pergi keluar kota Bukittinggi dan
berpencar dengan anggota lainnya karena belanda mengebom kota-kota di Sumatera
tengah dan sejak itu terjadilah riwayat PDRI yang pindah dari suatu tempat ke
tempat lain. PDRI sebagai Mobile Government atau pemerintahan yang selalu
berpindah pindah sangat tepat jika melihat situasi alam Sumatera Tengah
ditengah gempuran militer belanda yang menggunakan peralatan tempur
canggih.
Ditengah
situasi gawat akibat ancaman serangan militer belanda setiap saat, PDRI dengan
dukungan rakyat sumatera tengah ternyata justru berkembang, meski selalu berpindah
PDRI mampu menghadirkan eksistensinya ditengah masyarakat dalam dan luar
negeri.
Pemerintahan
yang terus berpindah-pindah ini untuk beberapa bulan mendapatkan masa menetap
di Bidar Alam, menandai dimana PDRI berkesempatan mengumandangkan suara perjuangannya
hingga ke dunia internasional. Menurut Mestika Zed, Penulis buku sejarah
PDRI, dipilihnya Bidar Alam sebagai basis PDRI karena Bidar Alam adalah
daerah yang relatif jauh dari kemungkinan jangkauan belanda dan
relatif aman, dan disitulah Syafruddin Prawiranegara beserta rombongan dan
perangkat pemerintahannya dan termasuk alat komunikasi radio untuk dunia luar
tetap dibawa dengan cara digendong sekitar enam orang dari tempat ke tempat
lain dengan menempuh jalan kaki.
Kondisi
PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai
Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Sjafruddin membalas, Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena
itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman,
pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan
bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris
jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.
Monumen PDRI di Bidar Alam |
Salah
satu faktor penting pendukung eksistensi PDRI disumatera tengah ialah BPNK (
Badan Pertahan Nagari dan Kota ) sebagai basis pertahanan di pelosok
Minangkabau. Para pemimpin militer PDRI sangat menyadari bahwa pertahanan
berbasis rakyat di Nagari-nagari dan didukung kondisi alam sumatera tengah yang
bergunung merupakan keunggulan lain dari sistem pertahanan PDRI menghadapi
keunggulan militer belanda. Pemikiran itu pula yang melatar belakangi
pembentukan BPNK ( Badan Pertahan Nagari dan Kota ) sebuah badan untuk
menggalang kekuatan semi militer dikalangan rakyat yang dibentuk untuk
mengamankan PDRI.
Bertumpu
pada kekuatan politik dan militer yang didukung rakyat, PDRI perlahan mampu
menyatukan berbagai kekuatan revolusi yang terpecah sejak agresi militer
belanda kedua, pencapaian besar ini yang pada separuh akhir dari sekitar
delapan bulan rentang hidup PDRI ternyata nantinya akan memasuki fase baru
ditandai pertentangan antara pemimpin PDRI dengan pemimpin republik yang
ditawan Belanda di Bangka.
Belanda
dengan menggunakan jurus lama mencoba mempertentangkan mereka.
Peristiwa-peristiwa dalam revolusi seringkali tidak bisa dipahami secar hitam
putih, demikian pula yang terjadi dalam fase akhir kehidupan PDRI. Arah
sejarah seolah berada dititik persimpangan bagi PDRI, setelah belanda memilih
para pemimpin republik yang ditawan dibangka dan bukan para pemimpin PDRI untuk
berunding, menjadi mitra untuk pembicaraan mengakhiri sengketa kedaulatan
antara indonesia dengan belanda.
Belanda
memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya
tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak
senang, Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan
kelayakan para tahanan maju ke meja perundingan. Perjanjian Room Royen
yang berhasil merumuskan tahap-tahap menuju pengakuan kedaulatan indonesia
justru merupakan titik awal bagi berakhirnya keberadaan PDRI.
Setelah
Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Syafruddin
Prawiranegara untuk datang ke Jogja, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI,
yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak
dibubarkan.
Setelah
Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949,
diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta
sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta
mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta
menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal
hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.
Sebab
utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan
rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak
terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu,
seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat
yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah
yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara
lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan
payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga
jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.
Pada
sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali
mandatnya, sehingga dengan demikian, Moh. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden,
kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian
Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli,
Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut
tanggal 25 Juli 1949.
Jalan
Syafruddin Prawiranegara dan pemimpin PDRI untuk datang ke Jogja terasa begitu
berat, namun itulah jalan satu-satunya menuju persatuan para pemimpin Indonesia
yang tengah bersiap menghadapi salah satu perundingan paling menentukan
kedaulatan indonesia yaitu KMB.
Berakhirlah
perjuangan Syafruddin Prawiranegara dan pejuang-pejuang disumatera tengah dalam
menyelamatkan republik yang baru lahir pada saat itu. Bung Karno, bung Hatta,
bung Syahrir dan H.Agus Salim dan para pemimpin republik lainnya yang ditawan
dibangka adalah para pemimpin yang sangat dicintai dan mencintai rakyat. Tetapi
siapa pernah meragukan bahwa Syafruddin Prawiranegara, Tengku.Moh. Hasaan,
Sutan Moh Rasyid, panglima besar Jendral Soedirman dan Para pemimpin PDRI
lainnya adalah para pemimpin yang juga sangat dicintai dan mencintai rakyatnya.
Dan satu hal yang jelas adanya bahwa PDRI adalah mata rantai Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 agustus 1945
Sumber
:
Mestika
Zed, Somewhere in the Jungle Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata
Rantai Sejarah Yang Terlupakan